MEMBENTUK KESHALIHAN SOSIAL MELALUI DIMENSI SPIRITUALITAS

Akhmad Syafei

Bahwa pendidikan (Islam) sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Baik menyangkut aspek fisik maupun psikis atau kejiwaan. Oleh karenanya pendidikan memiliki peranan penting dan strategis. Penting, karena pendidikan sarat dengan transfer of values dalam rangka pembentukan concience. Strategis, karena pendidikan sebagai sarana bimbingan dan pertumbuhan anak atau pembentukan keshalihan ritual dan keshalihan sosial. Dan inilah misi Pendidikan Agama Islam yang pertama dan utama.
Misi tersebut akan tercapai apabila Pendidikan Agama Islam mampu menanamkan keimanan kepada anak didik, yang dengan keimanan tersebut akan menjadi motifator dan dinamisator dalam setiap gerak dan langkahnya. Dengan itu kesadaran beragama yang meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian akan tumbuh subur sehingga tercipta konversi positif di kalangan anak didik karena memiliki kepribadian yang matang.

Kata kunci : Pendidikan Agama, keshalihan ritual, keshalihan sosial.

A.Pendahuluan

Ada fenomena baru di kalangan pelaku bisnis pada beberapa tahun belakangan ini, yang kemudian dikenal luas sebagai mistikus korporat. Bahkan, menurut buku yang ditulis Gay Hendricks dan Kate Ludeman berjudul The Corporate Mystic, hampir semua pengusaha dan eksekutif perusahaan terkemuka di Amerika Serikat, memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh para mistikus.
Mereka sangat menjunjung etika bisnis serta nilai-nilai spiritual. Pada intinya, tak hanya materi dipertunjukkan, melainkan hati dan jiwa. Hal yang sama juga terjadi di tanah air. Seperti yang pernah dikatakan oleh Ary Ginanjar Agustian bahwa : Dimensi spiritualitas alias kerja dengan sifat-sifat Tuhan, mampu membuat karyawan mengendalikan emosi dan bekerja secara optimal.
Fenomena ini dilatarbelakangi bahwa selama ini perusahaan tersaput oleh nilai-nilai materialisme. Perusahaan menilai segala sesuatu dengan ukuran materi. Demikian pula yang ada dalam benak karyawan. Pada saat materi yang mereka dambakan tidak dapat diraih, berakibat pada luruhnya etos kerja mereka. Hal ini tentu memberikan dampak yang sangat berarti pada menurunnya produktivitas perusahaan. Tak heran jika perusahaan tak bertahan lama.
Ada pula perusahaan yang menekankan pemenuhan kebutuhan emosi. Para karyawan, misalnya diberangkatkan untuk belajar. Bentuk penghargaan lain juga diberikan untuk memenuhi aspek emosional mereka. Sayang saat bekerja mereka sering merasa tak dilahat atasannya. Kinerja mereka pun turun. Kedua pendekatan tersebut telah membuat banyak orang yang merasakan kehampaan.
Ada pula seseorang yang telah bekerja puluhan tahun di sebuah perusahaan besar, tapi tak merasa mendapatkan apa-apa dari perusahaan tempat ia bekerja. Lantas, tiba-tiba ia merasa lebih bernilai karena produk yang dihasilkan perusahaan tempat ia bekerja –dimana ia berperan pula dalam proses pembuatan produk itu- ternyata benar-benar bermanfaat bagi khalayak. Bukankah ini memrupakan dimensi spiritualitas yang sering terabaikan.
Berdasar pokok pikiran di atas, makalah ini bermaksud membahas permasalahan: Sejauh mana nilai-nilai spiritualitas berpengeruh terhadap kinerja serta etos kerja ? Adapun kerangka teoritis yang gunakan dalam pembahasan permasalahan (Nilai–nilai spiritualitas) ini adalah aspek-aspek Psikologi Agama yang meliputi : rasa agama, prilaku moral dan konversi.

B.Perilaku Moral dalam Kesadaran Beragama

Orang dewasa yang sudah berumur 45 tahun belum tentu memiliki kesadaran beragama yang mantap, bahkan mungkin kepribadiannya masih belum dewasa atau masih immature. Umur kalender atau umur seseorang yang menggunakan ukuran waktu almanak belum tentu sejalan dengan kedewasaan kepribadiannya, kematangan mental atau kemantapan kesadaran beragama. Banyak orang yang telah melewati umur 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut umur kalender, namun kehidupan agamanya masih belum matang. Ada pula remaja berumur di bawah 23 tahun telah memiliki kesadaran beragama yang cukup dewasa. Pada orang dewasa masih sering ditemukan cir-ciri kesadaran beragama yang hanya mencapai fase anak-anak. Tercapainya kematangan kesadaran beragama seseorang bergantung pada kecerdasan, kematangan alam-perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.
Kesadaran beragama dalam hal ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa-raga manusia, maka kesadaran beragama pun mencakup aspek-aspek kognitif, afektif, konatif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat dalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan, dan kerinduan kepada Tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek tersebut sukar dipisah-pisahkan karena merupakan satu sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang. (H. Abdul Aziz Ahyadi, 1988: 45)
Menurut G.W. Allport, ada tiga ciri kepribadian yang matang, yaitu : Pertama, Mampu mengendalikan dorongan biologis dan hawa nafsunya sehingga pemuasannya sesuai dengan norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini tercapai melalui berbagai pengalaman, ikatan, keterlibatan emosional, pengalaman frustasi serta cara-cara mengatasinya. Karena itu ia sudah belajar menemukan cara-cara penyesuaian diri yang tepat.
Kedua, Mampu mengadakan introspeksi, merefleksikan diri sendiri, memandang diri sendiri secara objektif dan kemampuan untuk mendapatkan pemahaman tentang hidup dan kehidupan, serta mampu mengambil distansi terhadap diri sendiri dan memandang diri sendiri sebagai objek sehingga ia mampu membandingkan hal-hal yang ada pada dirinya sendiri dengan hal-hal yang ada pada diri orang lain.
Ketiga, Selalu memiliki falsafah hidup yang utuh, tujuan hidup yang terarah serta pola hidup yang terintegrasi, sehingga kehidupan seseorang tidak akan nampak bersifat fragmentaris, segmental dan hidupnya tidak bermakna. Adanya suatu pandangan hidup berarti adanya suatu sistem nilai, walaupun nilai-nilai yang diutamakan belum tentu nilai-nilai keagamaan, namun kematangan kepribadian tanpa dilandasi agama akan menunjukkan kehidupan yang miskin, kurang bermakna dan mudah goyah. (H. Abdul Aziz Ahyadi, 1988: 45)
Kembali pada apa yang telah dikemukakan di atas bahwa kesadaran beragama itu meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian (perilaku moral). Maka perlu kiranya dipaparkan pengertian dari masing-masing istilah tersebut.
Rasa agama adalah suatu dorongan dalam jiwa yang membentuk rasa percaya kepada suatu Dzat Pencipta manusia, rasa tunduk, serta dorongan taat atas aturan-Nya. Sebagaimana dikatakan Clark, “….. the inner experience of this individual when he senses a Beyond, espicially as evidence by the effect of this experience on his behavior when he activity attemtps to harmonize his life with the Beyond”. Dari gambaran tersebut, maka rasa keagamaan mengandung dua dorongan yaitu dorongan Ketuhanan dan dorongan moral (taat aturan). Para psikolog agama sependapat bahwa rasa keagamaan memiliki akar kejiwaan yang bersifat bawaan (innatea) dan berkembang dipengaruhi oleh faktor eksternal. (Susilaningsih, 1996 : 1)
Dimensi eksperimensial berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama dalam psikologi disebut Religius experiences. Pengalaman keagamaan ini bisa saja terjadi sangat moderat, seperti kekhusyukan dalam shalat atau sangat intens seperti yang dialami oleh para sufi. (Jalaludin Rakhmat, 2003:45)
Perasaan keagamaan yang sangat kuat ketika agama berada di balik konversi, peristiwa dramatis yang menyebabkan orang kembali kepada ajaran agamanya. Sebelum konversi ia menjalani kegelisahan eksistensial. Sesudahnya ia mengalami ketenangan batin dan menemukan makna hidup. (Jalaludin Rakhmat, 2003:46)
Adapun yang dimaksud perilaku moral adalah perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Istilah perilaku moral sering dibedakan atau dilawankan dengan istilah perilaku tak bermoral, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku ini disebabkan ketidaksetujuan dengan standar sosialatau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Sedangkan perilaku amoral adalah lebih disebabkan ketidakacuhan terhadap harapan kelompok sosial daripada pelanggaransengaja terhadap standar kelompok.
Perilaku moral sangat terkait dengan hati nurani, karena hati nurani berfungsi sebagaikendali internal bagi perilaku individu. Hati nurani juga dikenal dengan sebutan cahaya dari dalam, superego dan polisi internal. Dalam peran polisi internal, hati nurani tanpa henti-hentinya mengamati kegiatan individu dan memberi jeweran keras apabila ia menyimpang dari jalur wajib yang sempit dan lurus dan ia juga merupakan standar internal yang mengendalikan perilaku individu.
Di antara berbagai usaha untuk memperlihatkan bagaimana perkembangan moral anak berkaitan dengan dan bergantung pada perkembangan kecerdasan, yang paling komprehensif ialah studi Piaget dan Kohlberg. Keduanya telah menunjukkan berdasarkan penelitian terhadap anak-anak berbagai usia, bagaimana perkembangan moral, dalam hal ini kemampuan melakukan penilaian moral dan perilaku yang sesuai dengan standar sosial yang disetujui, mengikuti pola yang dapat diramalkan yang berkaitan dengan urutan tahapan dalam perkembangan kecerdasan.
Dalam perkembangan jiwa seseorang, pengalaman kehidupan beragama sedikit demi sedikit makin mantap sebagai suatu unit yang otonom dalam kepribadiannya. Unit itu merupakan suatu organisasi yang disebut kesadaran beragama sebagai hasil peranan fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi dan intelegensi. Motivasi berfungsi sebagai daya penggerak mengarahkan kehidupanmental. Emosi berfungsi melandasi dan mewarnainya, sedangkan intelegensi yang mengorganisasi dan mepolakannya.
Bagi seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang matang, pengalaman kehidupan beragama yang terorganisasi tadi merupakan pusat kehidupan mental yang mewarnai keseluruhan aspek kepribadiannya. Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar.
Semua tingkah laku dalam kehidupannya seperti berolitik, berekonomi, berkeluarga, bertani, berdagang, berolah raga, berperang, belajar mengajar, dan bermasyarakat diwarnai oleh sistem kesadaran beragamanya. Kesadaran beragama tidak hanya melandasi tingkah laku yang nampak, tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran, I’tikad,niat, kemauan dan tanggapan terhadap nilai-nilai abstrak yang ideal seperti demokrasi, keadilan, pengorbanan, persatuan, kemerdekaan, perdamaian dan kebahagiaan.
G.W. Allport, memberikan tanda-tanda sentimen beragama yang matang, yaitu adanya defferensiasi, dinamis, produktif, komprehensif, integral, dan keihklasan pengabdian. Sejalan dengan pendapat G.W. Allport ciri-ciri kesadaran beragama yang matang ialah sebagai berikut: (1) Differensiasi yang baik, (2) Motivasi kehidupan beragama yang dinamis, (3) Pelaksanaan ajaran agama secara konsisten dan produktif, (4) Pandangan hidup yang komprehensif, (5) Pandangan hidup yang integral, (6) Semangat pencarian dan pengabdian kepada Tuhan. (H. Abdul Aziz Ahyadi, 1988: 58)
Apabila seseorang mengalami perubahan-perubahan tingkah laku dalam kaitannya dengan perilaku agama, maka terjadilah apa yang dinamakan konversi agama. Konversi agama sebagai suatu pertumbuhan atau perkembangan spiritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindakan agama. Atau perubahan emosi yang tiba-tiba ke arah mendapat hidayah Allah secara mendadak, telah terjadi, yang mungkin saja sangat mendalam atau dangkal, dan mungkin pula perubahan tersebut secara berangsur-angsur.(Zakiah Darajat, 1970 : 137)
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada. Adapun ciri-cirinya adalah : (1) Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaannya yang dianut. (2) Perubahan terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak. (3) Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yang dianutnya sendiri. (4) Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan faktor petunjuk dari Yang Maha Kuasa. (Jalaluddin, 2002 : 258)

C. Kenyataan Faktual Sebuah Fenomena

Sebelum sampai pada analisis, perlu kiranya mencermati sebuah fenomena yang sekiranya dapat dijadikan bahan kajian berkaitan dengan permasalahan di atas. Fenomena tersebut dikutip dari tabloid Republika dalam Dialog Jumat tanggal 12 Desember 2003 adalah sebagai berikut:
Menurut penuturan pengelola dan pemilik Hyper Market Food Land, Novyan, landasan agama merupakan sesuatu yang mutlak perlu ada setiap gerak langkah satu perusahaan. Dalam pengelolaan sebuah badan usaha, sangatlah naif apabila hanya terfokus pada upaya memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan proses yang baik guna mencapai tujuan serta fisi perusahaan. “Nah di sinilah setidaknya nilai spiritualitas ini berperan, yakni untuk memberikan arahan maupun rambu-rambu sehingga tercipta suatu kondisi kerja yang diharapkan”, paparnya.
Terkait hal tersebut, dalam perusahaan yang dia kelola sangat ditekankan bagi karyawan untuk senantiasa meniatkan pekerjaan mereka di jalan Allah. Novyan punya prinsip, bahwa mencari uang halal itu amatlah nikmat apabila dilakukan secara amanah.
“Apapun yang akan kita bikin, bila itu amanah, pasti akan jadi”, tutur Novyan. Pengalaman ketika menggulirkan gagasan mendirikan Perusahaan Waralaba yang khusus menjual produk halal tahun 1999 ini bisa menjadi patokan.
Misalnya saja dari pengakuannya, ketika melakukan pengurusan perizinan, Novyan menghindari praktik sogok menyogok yang marak di tanah air in. Alhamdulillah dengan berkah dan rahmat Allah, pihaknya selalu diberikan kemudahan hingga rencana untuk pembangunan Hyper Market seluas 1,4 Ha. Di kawasan Bogor bisa terlaksana dan diharapkan rampung pertengahan tahun 2004.
Pada waktu mengajukan pinjaman ke pihak Bank, seperti ADB, serta sejumlah kreditor lainnya, tidak banyak kesulitan ditemui. “Oleh karenanya, kita optimis apabila usaha ini dikelola dengan menggunakan prinsip serta ajaran agama akan bisa membawa manfaat tak hanya untuk saya pribadi dan karyawan, namun juga masyarakat”, ucapnya lagi.
Novyan berpendapat, di era persaingan usaha yang makin ketat, kian banyak pula masalah-masalah yang akan dihadapi yang kadang penanganannya tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa. Materialisme pada waktunya nanti akan membawa kejenuhan bagi orang-orang tertentu dan mereka mencoba mancari makna hidup ini.
Agama pun akan memberikan pencerahan. Dan akhirnya berimbas pada meningkatnya kualitas kehidupan orang tersebut. “Etika bisnis yang mesti dijunjung tinggi hanya bisa diwujudkan bila kita sudah memiliki mental dan akhlak terpuji”. Melalui ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, seyogyanya telah tercantum apa-apa yang seharusnya menjadi pedoman berusaha. Prinsip transparansi, adil, saling menguntungkan, serta menghormati orang lain, tidak bisa dipisahkan dari perjalanan dan kegiatan sebuah perusahan yang amanah.
Sehingga penting kiranya bagi segenap karyawan untuk terus memupuk semangat keimanan ini di kegiatan sehari-hari. Beberapa bulan lalu setelah pulang umroh muncul gagasan yang lantas diterapkan di perusahaannya, yaitu akan menutup perusahaannya selama 15 menit setiap tiba waktu shalat wajib. Semua karyawan disarankan untuk shalat berjamaah. Dengan begitu harapannya adalah akan timbul semangat kebersamaan, dan menciptakan atmosfer kondusif di lingkungan kerja serta mempermudah pencapaian visi dan misi perusahaan.
Begitu pula diungkapkan Komisaris Utama PT Hotel Sofyan tbk., Riyanto Sofyan, bahwa penanaman nilai-nilai spiritualitas telah menjadi perhatian pihaknya sejak tahun 1994 lalu. Dan sampai saat ini, makin dirasakan manfaatnya. Dia lantas berpendapat, efisiensi dan produktivitas di seluruh lini usaha dapat ditingkatkan, yakni apabila karyawan meniatkan kerjanya untuk ibadah. “Jangan sekedar berharap untuk mendapat uang tip, tapi melayani tamu sebaik-baiknya”.
Beberapa kegiatan telah dilangsungkan yang terkait dengan upaya pembinaan mental spiritual ini. Mulai dari level direksi hingga karyawan. Misalnya saja kegiatan pengajian rutin, seminar ekonomi syariah, serta shalat berjamaah.
Seperti dijelaskan Riyanto, ketika sebelum tahun 1994, suasana kerja di lingkungan hotel tersebut bisa dibilang tidak terlalu baik. Timbul saling curiga antara serikat pekerja dengan pihak manajemen. Sampai akhirnya kondisi ini berdmpak pada operasional usaha sehari-hari.
Tentu kita tidak ingin keadaan itu berlarut-larut berlangsung, harus ada sesuatu yang merekatkan kita kembali. Jadi intinya ya kembali kepada ajaran agama. Sejak itulah dimulai berbagai kegiatan keagamaan tadi. Tetapi segala usaha pasti ada tantangannya., pada walnya ada beberapa pihak yang curiga, kegiatan-kegiatan itu hanya sekedar alat dari pihak manajemen untuk meredam karyawan. Namun setelah kegiatan tersebut berlangsung sekian lama serta melalui pembinaan rutin, sikap curiga itu berangsur surut.
Manfaat dari kegiatan spiritual tadi nyatanya tidak cuma terasakan oleh perusahaan, tapi bagi masing-masing individu karyawan. Diceritakan Riyanto, pernah suatu saat ibu dari salah seorang karyawan datang ke kantornya. Si ibu tadi mengaku heran dengan perubahan perilaku anaknya. Bila dulu sang anak suka mabuk-mabukan, kini berubah total dan mau shalat lima waktu. Setelah dijelaskan bahwa di lingkungan kerja anaknya itu ada kegiatan keagamaan, barulah si ibu itu mengetahui kenapa anaknya berubah sikapnya.
C. Implementasi pada Pendidikan Agama Islam
John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (as direction), sebagai sarana pertumbuhan (as growth), yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup, lewat transmisi baik dalam bentuk informal, formal maupun nonformal. Bahkan Lodge mengatakan bahwa: Pendidikan dan proses hidup dan kehidupan manusia itu berjalan serempak, tidak terpisahkan satu sama yang lain (life is education, and education is life).
Bertolak dari pendapat di atas, maka jelaslah kiranya bahwa pendidikan (Islam) sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Baik menyangkut aspek fisik maupun psikis atau kejiwaan. Kalau kita kembali pada landasan teoritis dan kenyataan empiris sebagaimana dipaparkan di atas, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa pendidikan memiliki peranan penting dan strategis. Penting, karena pendidikan sarat dengan transfer of value -penanaman nilai-nilai dan norma dalam rangka pembentukan concience- kristalisasi nilai-nilai agama Islam. Strategis, karena pendidikan sebagai sarana bimbingan dan pertumbuhan anak atau pembentukan sikap dan perilaku anak (keshalihan ritual dan keshalihan sosial).
Dari paparan pengalaman pengelola Hyper Market Food Land di atas, setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk disimak dan dicermati, untuk selanjutnya dapat kita jadikan paradigma baru dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam dalam kerangka pembentukan spiritualitas. Poin-poin tersebut di antaranya adalah :
1. Landasan agama merupakan sesuatu yang mutlak perlu ada setiap gerak langkah satu perusahaan. Di sinilah setidaknya nilai spiritualitas ini berperan, yakni untuk memberikan arahan maupun rambu-rambu sehingga tercipta suatu kondisi kerja yang diharapkan. Kaitannya dengan pendidikan agama Islam, maka tujuan dan sasaran pokok dari Pendidikan Agama Islam adalah hendaknya dapat membentuk pribadi muslim yang kuat, sehingga keimanannya akan menjadi pondasi yang kokoh dan dapat berfungsi sebagai motivator dan dinamisator. Pembentukan dimensi keshalihan ritual.
2. Ditekankannya bagi karyawan untuk senantiasa meniatkan pekerjaan mereka di jalan Allah. Efisiensi dan produktivitas di seluruh lini usaha dapat ditingkatkan, yakni apabila karyawan meniatkan kerjanya untuk ibadah. “Jangan sekedar berharap untuk mendapat uang tip, tapi melayani tamu sebaik-baiknya”. Jika hendak diimplementasikan dalam Pendidikan Agama Islam, maka dengan Pendidikan Agama Islam hendak dapat menyadarkan anak didik bahwa segala yang dilakukan itu diniatkan untuk beribadah/mengabdi hanya kepada Allah SWT semata, bukan untuk tujuan yang lain. Pembentukan dimensi keshalihan ritual.
3.“Etika bisnis yang mesti dijunjung tinggi hanya bisa diwujudkan bila kita sudah memiliki mental dan akhlak terpuji”. Melalui ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits, seyogyanya telah tercantum apa-apa yang seharusnya menjadi pedoman berusaha. Prinsip transparansi, adil, saling menguntungkan, serta menghormati orang lain, tidak bisa dipisahkan dari perjalanan dan kegiatan sebuah perusahan yang amanah. Jadi dengan Pendidikan Agama Islam hendaknya dapat membentuk dimensi keshalihan sosial.
4.Akan menutup perusahaannya selama 15 menit setiap tiba waktu shalat wajib. Semua karyawan disarankan untuk shalat berjamaah. Dengan begitu harapannya adalah akan timbul semangat kebersamaan, dan menciptakan atmosfer kondusif di lingkungan kerja serta mempermudah pencapaian visi dan misi perusahaan. Artinya lebih mengutamakan hak Allah daripada hak insani/duniawi. Inilah yang sering terlupakan dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, bahwa untuk membentuk keshalihan ritual dan sosial itu diperlukan skill melalui habit forming.
5.Beberapa kegiatan telah dilangsungkan yang terkait dengan upaya pembinaan mental spiritual ini. Mulai dari level direksi hingga karyawan. Misalnya saja kegiatan pengajian rutin, seminar ekonomi syariah, serta shalat berjamaah. Hal ini tidak asing lagi dalam Pendidikan Agama Islam, yaitu metode uswah. Artinya metode yang paling efektif dalam Pendidikan Agama Islam adalah metode memberi contoh/uswah. Anak tidak hanya disuruh dan diberi tugas tetapi anak langsung meneladai dari bapak/ibu guru serta karyawan di sekolahnya.
6.Si ibu mengaku heran dengan perubahan perilaku anaknya. Bila dulu sang anak suka mabuk-mabukan, kini berubah total dan mau shalat lima waktu. Setelah dijelaskan bahwa di lingkungan kerja anaknya itu ada kegiatan keagamaan, barulah si ibu itu mengetahui kenapa anaknya berubah sikapnya. Artinya menciptakan lingkungan yang kondusif edukatif akan lebih efektif untuk pembentukan pribadi-pribadi berakhlakul karimah. Hal ini dapat dilakukan dengan metode pendidikan teman sebaya.
D.Kesimpulan

1.Misi Pendidikan Agama Islam yang pertama dan utama adalah membentuk pribadi-pribadi yang memiliki keshalihan ritual dan sekaligus juga memiliki keshalihan sosial.
2.Misi tersebut akan tercapai apabila Pendidikan Agama Islam mampu menanamkan keimanan kepada anak didik, yang dengan keimanan tersebut akan menjadi motifator dan dinamisator dalam setiap gerak dan langkahnya.
3.Metode yang dapat digunakan dalam Pendidikan Agama Islam diantaranya adalah metode habit forming (pembentukan kebiasaan), metode uswah (pemberian contoh) dan metode pendidikan teman sebaya (menciptakan lingkungan yang kondusif) di antara siswa.
4.Dengan itu kesadaran beragama yang meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian akan tumbuh subur sehingga tercipta konversi positif di kalangan anak didik karena memiliki kepribadian yang matang, seperti yang terjadi pada diri anak dari ibu salah seorang karyawan sebagaimana tersebut. []


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila, Bandung, Sinar Baru, 1988.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung, Mizan, 2003.

John Dewey, Democracy and Education, New York, The Free Press, 1966.

Rupert C. Lodge, Philosophy of Education, Sister & Brothers, New York, 1947.

Susilaningsih, Dinamika Perkembangan Rasa Keagamaan pada Usia Remaja, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Makalah, 1996.

Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1970.

Tabloid :
Tabloid Republika, Dialog Jumat, Tgl. 12 Desember 2003.

0 Response to "MEMBENTUK KESHALIHAN SOSIAL MELALUI DIMENSI SPIRITUALITAS"

Posting Komentar