MEMAKNAI ILMU PENGETAHUAN BAGI KEHIUPAN


Oleh : Akhmad Syafii

A. PENDAHULUAN

Maksud judul di atas adalah ingin mencari makna Ilmu Pengetahuan agar lebih bermakna bagi kehidupan umat manusia. Atau secara implisit dapat diduga bahwa yang diinginkan adalah mencari jawaban atas pertanyaan yang telah lama muncul yaitu, apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai atau tidak.

Setiap kali berbicara tentang perkembangan Ilmu Pengetahuan, maka pertanyaan klasik tersebut akan selalu menjadi teka teki. Sebab kedua cara pandang yang berbeda itu membawa implikasi yang berbeda dalam pengembagan Ilmu Pengetahuan yang dipilih. Kadang kala orang mengaitkan pilihan antara bebas atau tidak bebas nilai itu dengan jenis ilmu yang dikembangkan. Misalnya, ilmu-ilmu social dipandang lebih kuat keterkaitannya dengan masalah nilai. Sedangkan ilmu-ilmu aksak dipandang lebih bebas nilai, padahal kenyataannya di masyarakat tidak mesti demikian.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, maka pemenuhan keutuhan manusia bias dilakukan secara lebih cepat dan mudah. Namun kenyataannya apakah Ilmu Pengetahuan selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, ataukah justru membawa malapetaka dan kesengsaraan bagi hidup dan kehidupan manusia.

Untuk membahas permasalahan tersebut, secara berturutan akan dibicarakan : Pengertian Ilmu Pengetahuan, Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan dan Ilmu dan Niai (value) atau aspek axiologis dari epistomologis.

B. PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN

Ilmu Pengetahuan dalam konteks filosofis, sebenarnya termasuk dalam wilayah Epistimologi, atau sering diartikan sebagai teori pengetahuan.[1] Epistimlogi ialah cabang filasafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[2] Dalam Epistimologi paling tidak terdapat tiga persoalan yaitu : (1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu, dari manakah pengetahuan yang benar itu dating dan bagaimana kita mengetahui ? Ini adalah persoalan tentang asal pengetahuan. (2) Apakah watak pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan versus hakekatnya (reality). (3) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi.[3] Dalam pembahasan ini tidak akan dibicarakan mengenai persoalan-persoalan Epistimologi akan tetapi langsung masuk pada pengertian Ilmu (Pengetahuan).

Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-akibat atau asal usul. Istilah pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan pengertian opini, sedang istilah sebab (causa) diambil dari kata aitia, atau prinsip pertama.[4]

Adapun secara umum Ilmu Pengetahuan itu dapatlah di definisikan sebagai suatu system yang terdiri dari pengetahuan-pengetahuan (ilmiah) yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran (ilmiah), dan sedapat mungkin juga untuk mencapai kebahagiaan umat manusia.[5]

Jelaslah kiranya bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan mengandung dua aspek, yaitu subyektif dan objektif, sekaligus memerlukan kesamaan di antara keduanya; oleh karena itu sesungguhnya manusia tidak mungkin mengubah hokum-hukum pemikiran dengan hokum-hukum alam semesta. Dua aspek tersebut akan melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam epistimologi. Pertama, pandangan rasionalisme yang memandang bahwa hokum alam itu direfleksikan ke dalam hokum-hukum pemikiran, lebih memihak pada sikap subjektif. Kedua, pandangan realisme unversal yang memandang bahwa hokum-hukum pemikiran secara mutlak mencontoh hukum-hukum pemikiran.

Van Melsen mengemukakan cirri-ciri ilmu adalah : (1) Secara metodis harus mencapai keseluruhan yang secara logis koheren, artinya harus ada system penelitian (metode) maupun susunan logis. (2) Ilmu Pengetahuan tanpa pamrih, sehingga erat kaitannya degan tanggung jawab ilmuwan. (3) Objektivitas bersifat apa adanya. (4) Universal. (5) Dapat diferifikasi dan dikomunikasikan. (6) Progresifitas, artinya mengandung dan menimbulkan problema baru lagi. (7) Kritis atau terbuka. (8) Sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis.[6]

C. DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN

Bahwa pengertian ilmu itu pada dasarnya mengacu pada tiga hal yaitu : produk-produk, proses dan masyarakat. Sedangkan pengetahuan agar dapat menjadi ilmu yang berdiri sediri harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang merupakan unsur-unsur pokok dalam ilmu pengetahuan.

Kembali pada pengertian Ilmu Pengetahuan sebagai suatu system yang terdiri dari pengetahuan-pengetahuan (ilmiah) yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran (ilmiah), dan sedapat mungkin juga untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Maka secara demikian dapatlah dikatakan bahwa yang merupakan pengertian jenis dari ilmu pengetahuan itu adalah system, sedangkan yang merupakan pembedanya (differentia) ialah suatu kumpulan pengetahuan yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran serta sedapat mungkin juga kebahagiaan umat manusia.

Apabila ditinjau dari segi yang lain, maka dapatlah ilmu pengetahuan itu dikatakan mempunyai empat unsur pokok penyusunnya yaitu : (1) system. (2) pengetahuan ilmiah. (3) kebenaran. (4) kebahagiaan umat manusia. Ini artinya ilmu pengetahuan mempunyai segi statika yang berupa system tertentu yang terdiri dari pengetahuan-pengetahuan ilmiah, sedang ditinjau dari segi dinamikanya ilmu pengetahuan merupakan suatau usaha yang berlagsung secara terus menerus untuk mencapai kebenaran ilmiah dan kebahagiaan umat manusia.[7]

Jadi apabila berbicara mengenai dasar-dasar ilmu pengetahuan, maka keempat macam unsur tersebut di atas dapatlah dipakai sebagai landasan untuk menemukan jawabannya. Artinya, dasar-dasar ilmu pengetahuan dapatlah berupa dasar-dasar yang bersifat static dan dasar-dasar yang bersifat dinamik.

Dasar static berarti keadaan yang hakiki yang melekat pada ilmu pengetahuan dan merupakan semacam rangka pokoknya atau pola dasarnya. Sedang dasar dinamik adalah hal-hal yang melekat pada dirinya yang dapat memberikan semacam pengarahan dalam mengusahakan ilmu pengetahuan atau dalam melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah.

D. ILMU PENGETAHUAN DAN NILAI

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Pengadilan inkuisisi Galileo mempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di lur bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.

Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan : Ilmu yang Bebas Nilai ! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan dan saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.

Sifat ilmu sebagai suatu system tertutup bermula dari tuntutan akan otonomi ilmu pengetahuan, terutama pada kurun perkembangan ilmu sebagaimana dirumuskan oleh Comte. Pada tahapan pertama ilmu pengetahuan ingin lepas dari kungkungan agama atau kungkungan teologis dan tahap berikutnya ilmu pengetahuan semakin mencari kekhususan dan otonominya dengan melepaskan diri dari kungkungan metafisik. Ilmu kemudian dianggap menemukan otonominya dengan menerima lingkungan positivis sebagai lingkungannya yang syah dan metode ilmiah kemudian membatasi dirinya hanya pada objek-objek yang dapat dicapai oleh observasi empiris.[8]

Dalam tahap ini ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi, bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Dari sini sudah nampak adanya perkembangan sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplatif ke manipulatif.[9]

Dihadapkan dengan masalah nilai dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Pertama, menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun axiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Jadi pada intinya golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total sedang golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.

Terlepas dari itu semua, Habermas berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis, termasuk juga ilmu social.[10] Sejalan dengan itu Van Puersen mengemukakan bahwa dalam masyarakat modern bukan apa yang pertama-tama dipentingkan, melainkan bagaimana, yaitu bagaimana pengetahuan, etika dan seni dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang dapat dipertanggung jawabkan.[11]

E. PENUTUP

Demikianlah uraian makalah ini, yang pada intinya kalau kita cermati bahwa ilmu pengetahuan adalah dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Oleh karenanya makna ilmu pengetahuan terletak pada tujuan akhir ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu untuk mensejahterakan umat manusia. Untuk mewujudkan itu, ilmu pengetahuan tidak kalis terhadap nilai.

DAFTAR PUSTAKA

Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, LP3ES, Tahun 1987.

Kattsaft, O. Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta , Tiara Wacana, Tahun 1986.

Puersen, C.A. Van, Strategi Kebudayaan, Jakarta, BPK Gunung Agung, Tahun 1976.

Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Tahun 2002.

Soejono Soemargono, Filasafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Nur Cahaya, Tahun 1983.

Suriasumantri, Jujun S., Filasafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Tahun 2002.

Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta, Bulan Bintang, Tahun 1984.

Verhaak, dkk., Filsafat Ilmu Pengetahuan : Telaah Kerja Atas Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Tahun 1995.



[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 16.

[2] Louis O. Kattsaft, Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1986) hlm. 76.

[3] Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta : Bulan Bintang, 1984) hlm. 187-188.

[4] Verhaak, dkk., Filsafat Ilmu Pengetahuan : Telaah Kerja Atas Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995 hlm. 164.

[5] Soejono Soemargono, Filasafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1983) hlm. 5.

[6] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu , hlm. 141.

[7] Soejono Soemargona, Filsafat ..hlm. 5.

[8] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta : LP3ES, 1987) hlm xxxv.

[9] Jujun S. Suriassumantri, Filasafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2002) hlm. 234.

[10] Rizal Mustansyir, Filsafat…hlm. 172.

[11] C.A. Van Puersen, Strategi Kebudayaan (Jakarta : BPK Gunung Agung, 1976) hlm. 178.

MEMBANGUN KEMBALI KONSEP DASAR PENDIDIKAN ISLAM


Oleh : Akhmad Syafii

A. Pengantar

Pendidikan merupakan soal vital bagi tiap segi kemajuan dan perkembangan manusia. Dari senua usaha manusia agaknya pendidikan adalah salah satu yang mengalami rintangan paling besar dalam perjalanan kemajuannya. Keadaan sosial, ekonomi, dan psikologi yang disebabkan karena makin cepatnya perubahan struktur dan perkembangan yang cenderung untuk memberi tekanan pada jurang pemisah yang biasanya terdapat di antara struktur, infra-struktur dan supra-struktur. Hal itu memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan secara mudah dapat mengembangkan suatu ketertinggalan waktu atau menjadi salah diterapkan.[1] Bukankah esensi pendidkan adalah untuk memanusiakan manusia yang terbebas dari kejahiliyahan (kebodohan).

B. Deskripsi Pendidikan Islam Masa Lalu

Turunnya wahyu pertama kali untuk Nabi Muhammad saw. dalam bentuk perintah iqro’ dari kaca mata pendidikan dapat dinilai sebagai deklarasi gerakan pembebasan buta huruf bagi umat. Hal ini menadai bahwa secara historis pendidikan Islam telah lahir. Pada zaman Rasulullah pendidikan terpusat di Masjid termasuk kediaman beliau. Pendidkan waktu itu bersifat mandiri, spesialis, dan untuk umat.

Pendidikan yang dilakukan Rasulullah berhasil membina individu-individu beriman, berakhlak, berpengetahuan dan memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap keadaan lingkungan masyarakat. Berdasarkan modal ini Rasulullah merubah sisten kemasyarakatan Jahiliyah menjadi sistem kemasyarakatan yang Islami, untuk kemudian seterusnya mampu menciptakan sistem teknologi. Ditinjau dari pandangan perubahan sosial, perubahan sosial pada zaman Nabi dimulai dari perubahan pada diri manusia yang mencakup keimanan, akhlak, pengetahuan dan perilaku, kemudian merubah sistem kemasyarakatan yang berupa mekanisme hubungan antar anggota masyarakat untuk kemudian merubah sistem teknologi yang berupa metode-metode untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan perubahan pada bangsa Barat yang dimulai dari perubahan sistem teknologi, kemudian merubah sistem kemasyarakatan dan akhirnya merubah merubah sistem personalia.

Deklarasi pembebasan buta aksara dan buta pengetahuan, terus berlanjut pada generasi-generasi umat Islam berikutnya dalam bentuk sistem pendidikan yang semakin canggih dan meluas dan telah mengantarkan munculnya ilmuwan kelas dunia dari kalangan kaum muslimin dengan berbagai karya dan ciptaannya di berbagai disiplin di antaranya : kedokteran, astronomi, matematika (al-jabar), sosiologi, psikologi dan politik. Pada masa pemerintahan bani Abasyiyah dan bani Umayah perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan semakin sistematis dangan Bagdad, Irak sebagai pusatnya.

Kepeloporan Islam dalam pendidkan dan ilmu pengetahuan dapat dibuktikan dalam banyak bidang antara lain :

1. Pada tahun 765 M. di kalangan umat Islam sudah berdiri Fakultas Kedokteran.

2. Pada tahun 830 M. berdirilah Darul Hikmah, sebagai lembaga Ilmu Pengetahuan pertama yang terdiri dari Perpustakaan, Pusat terjemahan, laboratorium Observasi bintang dan Universitas.

3. Banyak karya-karya ilmuwan Islam yang sekarang ini masih dipergunakan dan terus dikembangkan, misalnya : angka-angka, aljabar, goneometri, optika, astronomi, teori pendulum, ilmu kedokteran dan bedah, ilmu faal, pembiusan, kimia asam nitrat, asam belerang dan lain-lain. Pada masa itu dunia Kristen masih dalam zaman perdukunan.[2]

Pada zaman keemasan Islam tersebut, secara besar-besaran diterjemahkan karya-karya luar, khususnya karya filasfat Yunani. Dan karya tersebut berkembang dan dapat disempurnakan oleh ilmuwan Islam.

Pendidikan dan pengetahuan berkembang subur di kalangan umat Islam, tidak sebagaimana dikalangan umat Nasrani, karena Islam tidak mengenal pertentangan dengan agama. Di kalangan umt Nasrani, banyak pembasmian imuwan, seperti Copernicus yang mati merana pada tahun 1543 M, Bruno yang dibunuh pada tahun 1600 M., Galileo yang mati dalam penjara akibat penemuan ilmunya yang mengingkari ilmu yang di pegang oleh kaum Gerejani (1642) dan Sarveto (1503) penemu peredaran darah yang mati dibakar.

Sebagai pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan, banyak ilmuwan Barat yang mengunjungi pusat-pusat Islam. Seperti Bagdad dan Toledo. Karya-karya pengetahuan Islam yang semula bersifat thoecentris (tauhid) ditangan ilmuwan Barat sudah diubah menjadi antrhopocentris dan sukarelawan, sebab pengalaman mereka mengalami pertentangan dengan kalangan agama. Salah seorang yang banyak mengkaji karya ilmuwan Islam adalah Francis Bacon (1561-1627) yang kemudian menghasilkan karya metode ilmiah dan eksperimen. Dua karya inilah yang mengantarkan bangsa Barat mencapai zaman keemasan. Dan karya-karya Islam secara tidak langsung sangat berperan dalam kemajuan peradaban Barat yang melewati masa renaissance (abad 14), reformasi pimpinan Luther dan Calvin abad ke 15, masa rasionalisme pimpinan Rene Descartes dan John Lock abad ke 17 dan masa Enlightment pimpinan Foltaire abad ke 18.

Sayangnya, sebaliknya awan gelap menyelimuti sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Umat Islam. Ada fase kemandegan di bidang pengetahuan, di samping jatuh dan hancurnya Bagdad oleh kekuatan tentara Mongol. Pendidikan Islam mulai membeku, kolot, dan ketinggalan zaman serta kehilangan vitalitas yang dimiliki sebelumnya. Akibat lebih lanjut, stagnasi kajian Islam, pondok dan madrasah mundur.

C. Mencari Formulasi Pendidikan Islam di tengah ketertinggalan

Masyarakat Islam berada pada posisi tingkat pendidikan yang rendah : angka buta huruf tinggi, tingkat partisipasi pendidikan rendah, tingkat pendidikan yang dicapai rendah, penguasaan teknologi dan science lemah. Ditambah lagi masyarakat Islam di belahan bumi manapun saat ini tengah berada dalam keadaan yang dilematis. Di satu pihak, untuk mengejar ketinggalan dengan umat lain harus segera menguasai science dan teknologi lewat mencangkok pendidikan Barat. Tetapi, di pihak lain pengetrapan sistem pendidikan menimbulkan umat Islam di manapun berada dilanda krisis akidah dan cultural.[3] Kalau umat Islam tidak mencangkok pendidikan Barat, maka posisi dan perannya akan semakin jauh tertinggal, tetap dihimpit keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Inilah merupakan problem terbesar yang dihadapi umat pada masa kini dan pada abad yang akan datang.

Krisis tersebut muncul karena pada hakekatnya pendidikan Barat bersifat sekuleristik dengan ciri : (1) Pendidikan Barat menempatkan dan menekankan secara berlebihan pada akal pikiran, dan melecehkan keyakinan dan nilai-nilai moral. Pendidikan yang semacam ini mendorong pengembangan ilmu dengan mengorbankan keyakinan, sebab pendidikan Barat mendasarkan pada kebenaran yang bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak. Setiap kebenaran harus bisa diuji secara empiris. Oleh karena itu pendidikan Barat akan menghasilkan cendekiawan yang bersifat skeptis, termasuk ragu-ragu terhadap kebenaran-kebenaran yang dibawa Agama. (2) Pendidikan Barat pada hakekatnya timbul dan berkembang untuk mengabdi pada perkembangan ekonomi yang bersifat materialistis. Nilai-nilai agama (Agama Kristen masa itu) telah dikesampingkan, demi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi.

Sejarah pendidikan modern Barat sebenarnya berasal dari pendidikan agama yang diadakan untuk mendidik anak-anak emigran Eropa yang datang di Amerika Serikat agar bisa membaca kitab Bibel dan menanamkan serta melanggengkan nilai-nilai agama yang mereka bawa dari asalnya. Pendidikan tersebut dikuasai dan dikontrol oleh kaum rohaniwan. Dalam pendidikan tersebut anak-anak belajar berdo’a, menyanyi keagamaan dan membaca Bibel. Di samping pendidikan dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai, tujuan utama adalah menciptakan suatu Theocratic city. Agar anak-anak bisa membaca injil, pemerintah memproklamirkan wajib belajar bagi anak-anak di koloni baru tersebut. Disamping itu, dibantu the Latin rammar semacam sekolah menengah, dimaksudkan untuk mempersiapkan golongan menengah. Pelajaran-pelajaran umum mulai dimasukkan ke dalam pendidikan keagamaan tersebut. Namun tetap saja kurikulum pada masa itu disusun untuk mendorong motive-motive keagamaan. Semangat dan nafas keagamaan menjiwai seluruh proses pendidikan.

Pada masa abad ke 18, emigran yang berdatangan ke Amerika Serikat semakin besar jumlahnya dan beraneka ragam asalnya. Semangat demokrasi mulai menyusup di kalangan pendidikan yang dikontrol kaum rohaniwan. Angin demokrasi ini semakin kencang dengan adanya kemajuan-kemajuan di bidang ekonomi. Lembaga-lembaga keagamaan tidak bisa menghindari proses kemajuan ini. Banyak kaum rohaniwan pindah profesi menjadi kapitalis kelas menengah baru. Perubahan-perubahan tersebut sudah tentu mempengeruhi sistem pendidikan. Kurikulum semakin berisi pelajaran-pelajaran umum yang sangat diperlukan untuk mempersiapkan tenaga kerja guna pembangunan ekonomi. Kontrol kaum rohaniwan terhadap pendidikan semakin melemah. Lebih daripada itu mulai dibuka sekolah menengah yang seratus prosen sekuler. Semangat warga untuk belajar agama merosot, diganti semangat untuk memperoleh pengetahuan umat yang diasosiasikan dengan kemajuan. Sisa-sisa pendidikan agama di SD diajarkan lewat pendidikan moral dan watak. Namun, pendidikan moral dan watak ini sudah tidak diperlukan lagi pada jenjang sekolah menengah. Kurikulum sekolah menengah diarahkan agar anak didik memiliki disiplin kerja kemampuan dan sukses. Sejak saat itu pada dasarnya kontrol kaum rohaniwan terhadap pendidikan sudah runtuh. Nilai-nilai sekuler telah mendesak nilai-nilai kristiani dari bangku-bangku sekolah. Dan sistem pendidikan modern Barat seperti itulah yang harus dipergunakan oleh kalangan umat Islam.

Adanya krisis akidah dan cultural yang kelak akan muncul dalam wujud perkembangan masyarakat menuju masyarakat sekuler, merupakan tanda-tanda bahwa dalam benturan terhadap pendidikan Barat, pendidikan Islam tersuruk ke pinggir. Sedikit demi sedikit pendidikan Islam lebih banyak bersifat formal dan simbul. Pendidikan yang mengarah pada alih teknologi dan keterampilan jauh lebih diperlukan untuk membangun suatu bangsa. Dan kenyataan menunjukkan bahwa, penggunaan pendidikan Barat di dunia Islam tidak menghasilkan exelency, masyarakat Islam tetap steril dan pemahaman Islam mundur. Serta umat Islam semakin tergantung pada ide-ide asing.

Sejak dulu para cendekiawan Muslim sudah menyadari bahayanya pendidikan Barat ini. Banyak upaya telah dilaksanakan untuk menghadapi pendidikan sekuler tersebut. Tetapi sejauh ini upaya yang telah dilaksanakan belum berhasil.

Menghadapi tantangan krisis akidah dan kultural tersebut, dari kalangan umat Islam muncul empat kebijaksanaan dalam menghadapi pendidikan Barat. Pertama, tidak mau bersentuh dengan pendidikan Barat. Kedua, mengambil pendidikan Barat untuk memperkuat pendidikan dan pemahaman Islam. Ketiga, mengambil idea pendidikan Barat terbatas pada pendidikan teknologi praktis, sedang pendidikan agama tetap menjadi acuan pokok untuk menghadapi perubahan zaman. Keempat, mengambil alih pendidikan Barat secara keseluruhan.

Kalau dievaluasi terhadap upaya yang telah dilaksanakan dalam menghadapi tantangan pendidikan Barat, tidak terlalu meleset dikatakan semua usaha tersebut tidak ada yang berhasil dengan baik. Pendidikan Islam jauh tersingkir, hanya merupakan pelengkap meski dengan status mata pelajaran wajib. Pendidikan Barat semakin lama semakin semakin mendominasi dalam pendidikan di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Maka, hasil pendidikan ini adalah cerdik cendekiawan yang menggadaikan komitmen akidah, untuk nilai-nilai Barat yang dianggap sangat canggih untuk pembangunan, seperti misalnya, effcienci, chievement, readiness, to change, adaptibility, punctuality, efficacy, lack of prejudice, integrity dan self relience.

Namun bagaimanapun juga timbul dikotomi yang sangat jahat. Ilmu agama dijadikan sumber moral keakheratan dan ilmu umum dijadikan sumber pengembang teknologi keduniaan. Bahkan tidak sedikit cendikiawan, yang cenderung menganggap pendidikan Islam tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

Secara umum ide pendidikan Islam apabila dibandingkan dengan ide pendidikan Barat dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pendidikan Islam Pendidikan Barat

Filosofi Pendidikan untuk mempersiapkan Pendidikan untuk mempersi

Manusia bisa berperan sebagai kha apkan manusia bisa bekerja

lifatullah fil ‘ard dan berprestasi

Hakekat hidup adalah untuk beribadah hidup untuk bekerja dan ber

kehidupan kepada Allah karya

Tujuan manusia beriman, ilmu amaliah manusia memiliki pengetahu

Pendidikan amal ilmiah, ulama intelek, intelek an dan keterampilan

ulama

Kurikulum agama dan ilmu umum ilmu-ilmu umum, terutama

Science dan teknologi

Evaluasi penguasaan pengetahuan, nilai- penguasaan pengetahuan

Keberhasilan nilai dan perilaku

Agent keluarga, sekolah, masyarakat dan sekolah dan masyarakat

Masjid

Namun bagaimanapun juga pada masa kini pendidikan Barat kita perlukan kalau kita tidak ingin umat Islam tetap tertinggal dalam alam keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Namun kita harus menyadari kelemahan-kelemahan yang ada pada pendidikan Barat tersebut. Oleh karena itu di samping mempergunakan pendidikan Barat, harus ada kesadaran dan tekad dari kalangan umat Islam untuk merevisi dan merubah pendidikan Barat tersebut, sebagaimana umat Nasrani pada masa abad pertengahan mengambil ilmu dari kalangan umat Islam yang bersifat teosentris diubah menjadi antroposentris. Untuk jangka panjang umat Islam harus mampu merubah jiwa pendidikan Barat dari : a) antroposentris menjadi teosentris, b) terlalu mendewakan rasio untuk melaksanakan wahyu Ilahi, c) berfahamkan positivistik menjadi positivistik plus kepercayaan terhadap barang ghaib, d) pendidikan hanya untuk kehidupan duniawi menjadi belajar untuk kehidupan dunia menuju kehidupan akherat, e) belajar mengajar merupakan tanggung jawab sosial menjadi belajar mengajar merupakan amal ibadah, dan f) pendidikan sekuler dan materialistik menjadi pendidikan yang mengajarkan masalah dosa, pahala, dan surga serta neraka.[4]

Untuk itu dalam jangka panjang dilaksanakan tranformasi pendidikan Barat sehingga ajaran dan nafas Islam merupakan bagaian yang tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan yang kita atur. Tetapi proses transformasi pendidikan merupakan proses yang panjang. Bangsa Jepang memerlukan waktu sekitar 200 tahun untuk bisa merubah sistem pendidikan Barat menjadi sistem yang dijiwai oleh Shintoisme dan budaya Jepang.[5] Diharapkan kelak dari sistem pendidikan yang bernafas Islami tersebut akan dilahirkan manusia-manusia cerdas sekaligus bertaqwa. Bekerja keras sekaligus tekun beribadah, percaya diri sekaligus bersifat tawadhu’, efisien sekaligus memiliki jiwa solidaritas, profesional sekaligus pemurah dapa si miskin, berorientasi kepada kehidupan akherat tanpa meninggalkan kehidupan keduniaan, memiliki motivasi untuk berprestasi setinggi mungkin sekaligus memperhatikan kepentingan umat. Dalam proses transpormasi tersebut perlu diidentifikasi apa tujuan pendidikan dan kemana peserta didik akan dibawa? Materi apa yang akan diberikan kepada peserta didik ? Bagaimana metode penyampaian materi tersebut ? Siapa yang memiliki wewenang untuk menyampaikan pelajaran ? Bagaimana hubungan peserta didik dengan guru ? Bagaimana mengevaluasi keberhasilan ? Aspek apa saja yang harus dievaluasi ?

Untuk mencapai sasaran jangka panjang tersebut, umat Islam khususnya para akademisi muslim, secara lebih imtensif harus mengkaji al-Qur’an secara multi disipliner, khususnya untuk menemukan norma-norma yang terkandung dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan konsep-konsep pendidikan. Menghadapi al-Qur’an sebagai data dan informasi yang berdasarkan data tersebut dapat dibangun teori-teori pendidikan. Dengan demikian ada usaha mentranformasikan kandungan kandungan al-Qur’an yang bersifat normatif menjadi teori. Kalau sudah berupa teori akan mudah untuk ditransformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.[6]

Sementara itu untuk jangka menengah umat Islam perlu melaksanakan pembaharuan di kalangan lembaga pendidikan Islam sebagai langkah untuk mewujudkan sasaran jangka panjang transformasi pendidikan Barat ke pendidikan Islam. Pembaharuan lembaga pendidikan Islam, baik itu pondok, Madrasah ataupun sekolah umum yang dikelola oleh lembaga Islam sangat mendesak.

Pertama, perubahan sosial berlangsung sangat cepat dan terus akan semakin cepat tersebut bisa menghasilkan social orientation. Disorientasi sosial dapat dilihat dalam wujud meningkatnya pembunuhan sadis, perkosaan, dan kebrutalan, meluasnya kejahatan narkotika, kenakalan di kalangan remaja.

Kedua, timbulnya apa yang disebut disinformation through over information. Informasi yang berkembang di masyarakat akan melimpah sehinggan disebut adanya informasi yang berlebihan. Akibatnya informasi yang ada hanya mempunyai daya laku semakin pendek. Keadaan ini juga mempengaruhi di bidang pengetahuan dimana kebenaran hari ini adalah suatu hal yang salah untuk hari berikutnya.

Melimpahnya informasi yang ada di masyarakat juga akan menimbulkan kontradiksi informasi dan meningkatkan kecepatan perubahan, yang pada gilirannya akan melecehkan kekuasaan di segala aspek kehidupan. Termasuk kekuasaan orang tua, kekuasaan gurur, kekuasaan tokoh-tokoh agama, dan juga kekuasaan pemimpin politik.

Ketiga, ada tanda-tanda berkembangnya rasa pesimisme di kalangan masyarakat terhadap perkembangan yang ada, misalnya pertumbuhan penduduk yang cepat, kejahatan yang meningkat, kerusakan lingkungan yang semakin meluas, Oesimisme yang berlebihan akan bisa menimbulkan sikap acuh ataupun sebaliknya, radikal revolusioner.

Keempat, tiga krisis tadi akan menimbulkan krisis di dalam memahami apa yang terjadi di dunia ini. Krisis tersbut digambarkan bahwa kita semua hidup di dalam suatu masyarakat yang tidak dapat dibayangkan. Seseorang tidak lagi dapt memiliki pengetahuan tentang masa depan melebihi apa yang diketahui tentang masa kini. Jalinan hubungan antara fenomena, reaksi satu terhadap yang lain, mekanisme hubungan antar peristiwa, pengaruh timbal balik antar peristiwa satu dengan yang lainnya yang tidak terduga, dampak dari informasi yang tidak dapat diperhitungkan lagi, faktor-faktor yang saling mengkait yang muncul begitu terpisah satu dengan yang lain, dan perasaan terjebak pada keadaan yang memusingkan sehingga tidak dapat melepaskan diri. Masyarakat nampak tidak dapat melepaskandari keadaan yang terjadi di dunia ini tidak bisa dilihat secara menyeluruh dan komprehensif.

Trend perkembangan dunia sebagaimana dikemukakan di atas menuntut adanya paradigma baru dunia pendidikan. Pertama, adanya pandangan holistik. Pandangan holistik ini akan menimbulkan dua pembaharuan di dunia pendidikan yaitu a) bahwa pendidikan akan menekankan pada anak didik berfikir secara global, dan bertindak secara lokal, dan b) pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis, tetapi meliputi pula keharmonisan dengan lingkungannya. Kedua, gaya hidup berubah dari ide mengurangi konsumsi menjadi berkomsumsi secara rasional.

Paradigma di atas menuntut pengembangan pendidikan guna mengembangkan kemampuan tertentu pada diri anak didik antara lain :

1. Kemampuan siswa untuk memahami hakekat konflik nilai-nilai yang tidak hanya dihadapi di masyarakat, tetapi juga akan mereka hadapi di sekolah sendiri. Di samping itu pula sekolah harus memberikan peserta didik kemampuan untuk dapat memilih nilai2.

2. Kemampuan untuk mendekati permasalahan secara global dengan pendekatan multidisipliner.

3. Kemampuan untuk menyeleksi arus informasi yang sedemikian deras untuk kemudian dapat perdigunakan kehidupan sehari-hari.

4. Kemampuan unruk menghubungkan peristiwa secara kreatif.

5. Pendidikan lebih ditekankan pada learning how to learn, learning how to think, dan learning how to be creative.

6. Materi kurikulum disajikan dengan menekankan ecological relationship.

7. Kurikulum sekolah harus menitik beratkan pada transfereble skill.[7]

Lembaga pendidikan Islam sebagai salah satu kekuatan pendidikannasional harus bersikap antisipatif dan partisipatifdalam menghadapi proses perubahan yang akan terjadi dengan melaksanakan pembaharuan dalam tubuhnya sendiri.

Sebagaimana konsekuensi ide pendidikan Islam yang bersumber pada filosofi hidup adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai realisasi tugas khalifatullah fil’ard, lembaga pendidikan Islam harus mampu mengembangkan manusia beriman yang memiliki ilmu amaliah dan amal ilmiah, perpaduan ulama intelektual dan intelektual ulama, memiliki kesadaran yang tinggi terhadap permasalahan masyarakat dan berpartisipasi aktif untuk memecahkan problem yang dihadapi.

Praktek pendidikan di kalangan lembaga pendidikan Islam pada awal berdirinya dalam ujud pondok, dari kacamata pendidikan modern, bersifat child centered dan problem centered dengan perpaduan materi agama dan umum. Kemandirian, inisiatif, kreativitas mendapat tempat yang tinggi di kalangan lembaga pendidikan Islam. Hasil pendidikan masa-masa itu memunculkan lulusan-lulusan yang mandiri, berwawasan luas dan mampu berkembang melaksanakan life long education. Di samping itu para lulusan memiliki semangat pengabdian kemasyarakatan yang tinggi. Ciri-ciri macam itulah yang sementara ini hilang harus dapat ditimbulkan kembali.

Setiap pembaharuan pendidikan mencakup tiga dimensi yaitu, penyebab, sasaran, dan hasil. Salah satu model dasar pembaharuan pendidikan sebagaimana berikut ini.[8]

Penyebab Sasaran Hasil

Sosial demografis relevansi prestasi yang dicapai

Sosial ekonomis effisiensi proses belajar mengajar yg lebih baik

Ketidakmeretaan perataan perilaku anak yang lebih baik

Sisial ekonomis kesempatan meratakan kesempatan mobilisasi

Kegiatan masyarakat

Di samping itu pembaharuan pendidikan biasanya berkaitan dengan relevansi, effisiensi, dan equalisasi. Ketiga hal tersebut dapat dilihat sebagai hasil dari adanya input dan sekaligus proses pendidikan. Pembaharuan pendidikan diperlukan apabila pendidikan menunjukkan bahwa baik proses maupun uotput pendidikan tidak effisien, tidak relevan dan tidak merata. Input pendidikan dipengaruhi oleh faktor sosial demografis, ekonomis dan adanya ketimpangan sosial ekonomi di kalangan msyarakat. Sedangkan output pendidikan sebagai hasil proses pendidikan yang tidak sehat mengakibatkan produk pendidikan tidak relevan dengan kebutuhan tenaga kerja, beaya persatuan produk mahal, dan hasil pendidikan melebar jurang antara kaya dan miskin dalam arti pendidikan hanya baisa dinikmati mereka golongan yang relatif kaya, pendidikan menghasilkan manusia jauh dari agama.

Pembaharuan yang diperlukan di kalangan lembaga pendidikan Islam adalah memfungsikan kembali keempat pusat kegiatan dalam satu kesatuan kegiatan yang utuh : sekolah, masjid, keluarga dan masyarakat, bukan empat kegiatan yang masing-masing berdiri sendiri. Di samping itu perlu upaya dapat mempengaruhi pusat pendidikan yang ke lima yaitu media massa, khususnya Televisi (TV).

Pembaharuan pendidikan di kalangan lembaga pendidikan Islam dapat dirangkum dalam model sebagai berikut :

ORANG TUA

- variabel proses

- partisipasi dalam menca-

pai tujuan pendidikan SEKOLAH

- kerjasama ortu, murid HASIL

GURU guru dan masyarakat - iklim sekolah

- kemauan - hubungan guru murid - aqidah, akhlak

- kemampuan - masjid sbg pusat pendd - ibadah, amal

- prestsi

MASYARAKAT

- partisipasi aktif

MASJID

- kegiatan jamaah

MEDIA MASSA

Pembaharuan pendidikan tersebut menuntut pula pembaharuan dalam praktek pendidikan. Praktek pendidikan ini dapat dilihat dalam empat aspek. Masing-masing aspek mempunyai dua titik yang terentang secara kontinyus. Keempat aspek tersebut adalah peserta didik, materi kurikulum, fungsi guru, dan sistim managemen. Status peserta didik terentang dari anak didik sebagai obyek sampai anak didik sebagai subyek dalam pendidikan. Aspek kedua, materi kurikulum bersifat nateri oriented sampai materi kurikulum problem oriented. Aspek ketiga, fungsi guru, yang terentang guru sebagai sumber ilmu dan indoktrinator sampai guru sebagai fasilitator dan dinamisator serta teman dalam proses belajar mengajar. Aspek keempat, sistim manajemen terentang dari sistin sentralisasi sampai sistim desentralisasi.

Keempat dimensi tersebut satu sama lainnya memiliki kaitan yang erat. Kalau praktek pendidikan menganggap anak didik sebagai obyek pendidikan, maka gaya fungsi guru cenderung sumber ilmu dan indoktrinator. Sebab anak didik perlu dilatih, karena mereka sedang dilatih maka mereka harus patuh kepada guru. Agar guru dipatuhi maka guru harus bergaya sebagai pemberi komando, dimana apa yang dikomandokan tidak dapat dibantah. Karena guru pemberi komando, maka apa yang akan dikomandokan harus sudah tersusun rapi dalam urutan yang pasti. Urutan yang paling pasti adalah urutan sesuai dengan materi subyek pengajaran. Agar apa yang diajarkan kepada anak didk di banyak tempat sama maka materi pengajaran tersebut harus disusun secara nasional dan guru juga harus diatur secara terpusatkan. Oleh karenanya manajemen pendidikan cenderung bersifat sentralistik.

Praktek pendidikan semacam ini akan menghasilkan pekerja yang disiplin bukan menghasilkan pemimpin, individu yang selalu bergantung kepada pemberi kerja bukan manusia yang mampu menciptakan kerja.

Sebaliknya kalau status anak didik dalam pendidikan sebagai subyek, dapat dikembangkan argumentasi sebagai berikut, karena sekolah merupakan kehidupan riel mereka, maka guru akan bergaya sebagai fasilitator, teman dan sekaligus orang tua. Dan karena anak didik hidup di dunianya sendiri, maka inisiatif dan kreatifitas mereka mendapatkan tempat yang wajar. Untuk mengembangkan inisiatif dan kreatifitas maka materi pelajaran tidak berangkat dari materi oriented tetapi berangkat dari problem oriented. Dengan demikian, apa yang dipelajari akan langsung dikaitkan dengan realitas dan lingkungan. Kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, kalau guru atau sekolah memiliki otonomi relatif besar. Dengan demikian pendidikan akan lebih banyak ditentukan pada level pelaksanaan di tingkat bawah dari pada di tingkat atas. Dengan kata lain manajemen pendidikan harus bercorak desentralisasi dan bukannya sentralisasi.

Pendidikan dengan orientasi semacam ini akan menghasilkan lulusan yang dinamis, kreatif, mandiri dan inovatif penuh dengan inisiatif dan kemampuan untuk berantisipasi terhadap masalah-masalah yang dihadapi.

Sementara itu dalam jangka pendek, umat Islam harus mampu meningkatkan dan mengembangkan nafas keagamaan yang meningkat pada masa kini. Masjid-masjid terus diupayakan sebagai pusat kegiatan ilmiah khususnya untuk remaja. Ko-kurikuler keagamaan di sekolah-sekolah perlu untuk lebih ditingkatkan. Hubungan orang tua dan sekolah perlu untuk terus dibina. Hubungan umat dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh umat Islam perlu lebih diangkat dalam wujud bantuan riel guna peningkatan kualitas sekolah tersebut.

D. Simpulan

Jelaslah kiranya, bahwa untuk membangun kembali pendidikan Islam diperlukan rekonstruksi dan restrukturisasi baik menyangkut konsep dasar dan sistem pelaksanaan yang disesuaikan dengan konstelasi zaman dengan dibingkai nilai-nilai dan corak ke-Islaman, sebagaimana dulu pernah berhasil dan menjadi model pendidikan Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Ashraf, Sayed, New horizon in muslim education, The Islamic Academic, Cambridge, 19785.

al-Naquib al-Attas, Sayed Muhamad, Aim and objectives of Islamic education, King Abdulaziz, 1979.

Husain, Sayed Sajjad dan Sayed Ali Ashraf, Crisis in muslim, King Abdulaziz University, 1979.

Kuntowidjojo, Paradigma Islam, interpretasi untuk aksi, Bandung, Mizan, 1991.

Perez, Miguel Fernandez, Krisis dalam Pendidikan, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1982.

Poeradisastra, Sumbangan Peradaban Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, P3M, cet, kedua, 1986.

Zamroni, Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, No. 2, Vol. I, 1991.



[1] Baca, Miguel Fernandez Perez, Krisis dalam Pendidikan, Jakarta, PN Balai Pustaka, 1982.

[2] Baca, Poeradisastra, Sumbangan Peradaban Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, P3M, cet, kedua, 1986.

[3] Sayed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis in muslim, King Abdulaziz University, 1979; Syed Muhamad al-Naquib al-Attas, Aim and objectives of Islamic education, King Abdulaziz, 1979; dan Syed Ali Ashraf, New horizon in muslim education, The Islamic Academic, Cambridge, 19785.

[4] Zamroni, Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, No. 2, Vol I, 1991. Baca pula buku Cultural Identity & educational policy, bab From educational borrowing to edicational sharing : The Japanese experience, diterbitkan oleh Croom Helm, London, 1985.

[5] Ibid.

[6] Kuntowidjojo, Paradigma Islam, interpretasi untuk aksi, Bandung, Mizan, 1991.

[7] Zamroni, Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, No. 2, Vol I, 1991.

[8] ibid.