MEMAKNAI ILMU PENGETAHUAN BAGI KEHIUPAN


Oleh : Akhmad Syafii

A. PENDAHULUAN

Maksud judul di atas adalah ingin mencari makna Ilmu Pengetahuan agar lebih bermakna bagi kehidupan umat manusia. Atau secara implisit dapat diduga bahwa yang diinginkan adalah mencari jawaban atas pertanyaan yang telah lama muncul yaitu, apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai atau tidak.

Setiap kali berbicara tentang perkembangan Ilmu Pengetahuan, maka pertanyaan klasik tersebut akan selalu menjadi teka teki. Sebab kedua cara pandang yang berbeda itu membawa implikasi yang berbeda dalam pengembagan Ilmu Pengetahuan yang dipilih. Kadang kala orang mengaitkan pilihan antara bebas atau tidak bebas nilai itu dengan jenis ilmu yang dikembangkan. Misalnya, ilmu-ilmu social dipandang lebih kuat keterkaitannya dengan masalah nilai. Sedangkan ilmu-ilmu aksak dipandang lebih bebas nilai, padahal kenyataannya di masyarakat tidak mesti demikian.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada Ilmu Pengetahuan dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini, maka pemenuhan keutuhan manusia bias dilakukan secara lebih cepat dan mudah. Namun kenyataannya apakah Ilmu Pengetahuan selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, ataukah justru membawa malapetaka dan kesengsaraan bagi hidup dan kehidupan manusia.

Untuk membahas permasalahan tersebut, secara berturutan akan dibicarakan : Pengertian Ilmu Pengetahuan, Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan dan Ilmu dan Niai (value) atau aspek axiologis dari epistomologis.

B. PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN

Ilmu Pengetahuan dalam konteks filosofis, sebenarnya termasuk dalam wilayah Epistimologi, atau sering diartikan sebagai teori pengetahuan.[1] Epistimlogi ialah cabang filasafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.[2] Dalam Epistimologi paling tidak terdapat tiga persoalan yaitu : (1) Apakah sumber-sumber pengetahuan itu, dari manakah pengetahuan yang benar itu dating dan bagaimana kita mengetahui ? Ini adalah persoalan tentang asal pengetahuan. (2) Apakah watak pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan versus hakekatnya (reality). (3) Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi.[3] Dalam pembahasan ini tidak akan dibicarakan mengenai persoalan-persoalan Epistimologi akan tetapi langsung masuk pada pengertian Ilmu (Pengetahuan).

Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-akibat atau asal usul. Istilah pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan pengertian opini, sedang istilah sebab (causa) diambil dari kata aitia, atau prinsip pertama.[4]

Adapun secara umum Ilmu Pengetahuan itu dapatlah di definisikan sebagai suatu system yang terdiri dari pengetahuan-pengetahuan (ilmiah) yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran (ilmiah), dan sedapat mungkin juga untuk mencapai kebahagiaan umat manusia.[5]

Jelaslah kiranya bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar. Atau dengan kata lain, ilmu pengetahuan mengandung dua aspek, yaitu subyektif dan objektif, sekaligus memerlukan kesamaan di antara keduanya; oleh karena itu sesungguhnya manusia tidak mungkin mengubah hokum-hukum pemikiran dengan hokum-hukum alam semesta. Dua aspek tersebut akan melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam epistimologi. Pertama, pandangan rasionalisme yang memandang bahwa hokum alam itu direfleksikan ke dalam hokum-hukum pemikiran, lebih memihak pada sikap subjektif. Kedua, pandangan realisme unversal yang memandang bahwa hokum-hukum pemikiran secara mutlak mencontoh hukum-hukum pemikiran.

Van Melsen mengemukakan cirri-ciri ilmu adalah : (1) Secara metodis harus mencapai keseluruhan yang secara logis koheren, artinya harus ada system penelitian (metode) maupun susunan logis. (2) Ilmu Pengetahuan tanpa pamrih, sehingga erat kaitannya degan tanggung jawab ilmuwan. (3) Objektivitas bersifat apa adanya. (4) Universal. (5) Dapat diferifikasi dan dikomunikasikan. (6) Progresifitas, artinya mengandung dan menimbulkan problema baru lagi. (7) Kritis atau terbuka. (8) Sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis.[6]

C. DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN

Bahwa pengertian ilmu itu pada dasarnya mengacu pada tiga hal yaitu : produk-produk, proses dan masyarakat. Sedangkan pengetahuan agar dapat menjadi ilmu yang berdiri sediri harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang merupakan unsur-unsur pokok dalam ilmu pengetahuan.

Kembali pada pengertian Ilmu Pengetahuan sebagai suatu system yang terdiri dari pengetahuan-pengetahuan (ilmiah) yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran (ilmiah), dan sedapat mungkin juga untuk mencapai kebahagiaan umat manusia. Maka secara demikian dapatlah dikatakan bahwa yang merupakan pengertian jenis dari ilmu pengetahuan itu adalah system, sedangkan yang merupakan pembedanya (differentia) ialah suatu kumpulan pengetahuan yang ditujukan untuk memperoleh kebenaran serta sedapat mungkin juga kebahagiaan umat manusia.

Apabila ditinjau dari segi yang lain, maka dapatlah ilmu pengetahuan itu dikatakan mempunyai empat unsur pokok penyusunnya yaitu : (1) system. (2) pengetahuan ilmiah. (3) kebenaran. (4) kebahagiaan umat manusia. Ini artinya ilmu pengetahuan mempunyai segi statika yang berupa system tertentu yang terdiri dari pengetahuan-pengetahuan ilmiah, sedang ditinjau dari segi dinamikanya ilmu pengetahuan merupakan suatau usaha yang berlagsung secara terus menerus untuk mencapai kebenaran ilmiah dan kebahagiaan umat manusia.[7]

Jadi apabila berbicara mengenai dasar-dasar ilmu pengetahuan, maka keempat macam unsur tersebut di atas dapatlah dipakai sebagai landasan untuk menemukan jawabannya. Artinya, dasar-dasar ilmu pengetahuan dapatlah berupa dasar-dasar yang bersifat static dan dasar-dasar yang bersifat dinamik.

Dasar static berarti keadaan yang hakiki yang melekat pada ilmu pengetahuan dan merupakan semacam rangka pokoknya atau pola dasarnya. Sedang dasar dinamik adalah hal-hal yang melekat pada dirinya yang dapat memberikan semacam pengarahan dalam mengusahakan ilmu pengetahuan atau dalam melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah.

D. ILMU PENGETAHUAN DAN NILAI

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Pengadilan inkuisisi Galileo mempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, yang pada dasarnya mencerminkan pertarungan antara ilmu yang ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di lur bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran metafisik keilmuan.

Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan : Ilmu yang Bebas Nilai ! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan mendapatkan kemenangan dan saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.

Sifat ilmu sebagai suatu system tertutup bermula dari tuntutan akan otonomi ilmu pengetahuan, terutama pada kurun perkembangan ilmu sebagaimana dirumuskan oleh Comte. Pada tahapan pertama ilmu pengetahuan ingin lepas dari kungkungan agama atau kungkungan teologis dan tahap berikutnya ilmu pengetahuan semakin mencari kekhususan dan otonominya dengan melepaskan diri dari kungkungan metafisik. Ilmu kemudian dianggap menemukan otonominya dengan menerima lingkungan positivis sebagai lingkungannya yang syah dan metode ilmiah kemudian membatasi dirinya hanya pada objek-objek yang dapat dicapai oleh observasi empiris.[8]

Dalam tahap ini ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi, bertujuan memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi. Dari sini sudah nampak adanya perkembangan sebagai peralihan ilmu dari tahap kontemplatif ke manipulatif.[9]

Dihadapkan dengan masalah nilai dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Pertama, menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun axiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Jadi pada intinya golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total sedang golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.

Terlepas dari itu semua, Habermas berpendirian bahwa teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis, termasuk juga ilmu social.[10] Sejalan dengan itu Van Puersen mengemukakan bahwa dalam masyarakat modern bukan apa yang pertama-tama dipentingkan, melainkan bagaimana, yaitu bagaimana pengetahuan, etika dan seni dapat diintegrasikan dalam satu sikap yang dapat dipertanggung jawabkan.[11]

E. PENUTUP

Demikianlah uraian makalah ini, yang pada intinya kalau kita cermati bahwa ilmu pengetahuan adalah dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Oleh karenanya makna ilmu pengetahuan terletak pada tujuan akhir ilmu pengetahuan itu sendiri yaitu untuk mensejahterakan umat manusia. Untuk mewujudkan itu, ilmu pengetahuan tidak kalis terhadap nilai.

DAFTAR PUSTAKA

Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, LP3ES, Tahun 1987.

Kattsaft, O. Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta , Tiara Wacana, Tahun 1986.

Puersen, C.A. Van, Strategi Kebudayaan, Jakarta, BPK Gunung Agung, Tahun 1976.

Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Tahun 2002.

Soejono Soemargono, Filasafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Nur Cahaya, Tahun 1983.

Suriasumantri, Jujun S., Filasafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Tahun 2002.

Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta, Bulan Bintang, Tahun 1984.

Verhaak, dkk., Filsafat Ilmu Pengetahuan : Telaah Kerja Atas Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Tahun 1995.



[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 16.

[2] Louis O. Kattsaft, Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1986) hlm. 76.

[3] Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta : Bulan Bintang, 1984) hlm. 187-188.

[4] Verhaak, dkk., Filsafat Ilmu Pengetahuan : Telaah Kerja Atas Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995 hlm. 164.

[5] Soejono Soemargono, Filasafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1983) hlm. 5.

[6] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu , hlm. 141.

[7] Soejono Soemargona, Filsafat ..hlm. 5.

[8] Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta : LP3ES, 1987) hlm xxxv.

[9] Jujun S. Suriassumantri, Filasafat Ilmu sebuah Pengantar Populer (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2002) hlm. 234.

[10] Rizal Mustansyir, Filsafat…hlm. 172.

[11] C.A. Van Puersen, Strategi Kebudayaan (Jakarta : BPK Gunung Agung, 1976) hlm. 178.

0 Response to "MEMAKNAI ILMU PENGETAHUAN BAGI KEHIUPAN"

Posting Komentar