BENAHI PENDIDIKAN DENGAN MUTU

Oleh : Afei Harun[1]

Akhir-akhir ini di lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan, banyak bermunculan kompetisi untuk saling berebut predikat sebagai Sekolah Kategori Mandiri (SKM), Sekolah Standar Nasional (SSN), bahkan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Fenomena ini mengimbas pada image masyarakat, bahwa sekolah dengan embel-embel tersebut, merupakan sekolah yang berkualitas dan menjanjikan alias bermutu.
Bagi pengelola pendidikan, predikat tersebut selain akan mendongkrak status sekolah dan menjadi incaran siswa dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB), sebenarnya ada iming-iming yang cukup menggiurkan yaitu subsidi dari pemerintah. Misalnya saja untuk criteria SKM, sekolah akan memperoleh subsidi sebesar seratus juta rupiah dalam setiap tahunnya. Itu baru SKM belum untuk SSN apalagi SBI. Merupakan jumlah nominal yang sangat berarti untuk pengelolaan pendidikan, karena nota bene subsidi tersebut sebagian besar dipergunakan untuk mendanai kegiatan non fisik alias kegiatan belajar mengajar.
Dalam tataran idealis, konsep ini patut diapresiasi karena pendidikan dipandang sebagai sebuah sisten terintegrasi di dalam masyarakat, dan bukannya dipandang sebagai organisasi yang terpisah, yakni sebagai pemasok pada masyarakat. Sedangkan dalam tataran implementatif, tak ayal subsidi yang dijanjikan itu justru menjadi main stream dan sasaran bidik bagi pengelola pendidikan, yang pada gilirannya predikat apakah itu SKM, SSN atau SBI hanyalah sekedar jargon dan lipstik belaka selama pola manajemennya berbasis proyek tidak berbasis mutu.
Manajemen Mutu
Kita sering mendengar bahkan menggunakan kata mutu, namun secara persis jarang diantara kita yang paham betul apa arti kata mutu. Menurut Dr. W. Edward Deming, mutu adalah sebuah derajat variasi yang terduga standar yang digunakan dan memiliki kebergantungan pada biaya yang rendah. Yang perlu kita garis bawahi pendapat Deming bahwa untuk meningkatkan mutu, justru tidak harus dengan biaya tinggi atau dengan kata lain bahwa high grade tidak equivalen/serta merta diikuti dengan high cost.
Jelaslah kiranya bahwa untuk menciptakan sekolah bermutu tidak harus didukung dengan biaya atau angaran yang besar. Apabila konsep ini benar-benar diterapkan dalam mengelola pendidikan, maka opini masyarakat bahwa pendidikan mahal, secara berangsur-angsur akan tertepis. Sebaliknya apabila konsep yang digunakan high grade sama dengan high cost, maka jangan disalahkan apabila masyarakat berpandangan bahwa pendidikan hanya bisa dinikmati dan untuk high class saja.
Berbeda dengan Deming, Dr. Joseph M. Juran, menyebut mutu sebagai tepat untuk dipakai. Dasar misi mutu sebuah sekolah adalah membangun program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat. Jadi mutu itu lebih tepat ditentukan oleh pemakai bukan pemberi. Barangkali Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan jawaban pendapat Juran tersebut. Karena dalam KTSP sekolah diberi hak dan kewenangan untuk mengembangkan silabi sesuai dengan karakter dan kebutuhan masyarakat dimana sekolah berada dengan melibatkan semua warga sekolah, dan komite sekolah.
Apabila tidak diwaspadai, akan membuka peluang terjadinya permainan yang tidak sehat yaitu kong kali kong atau perselingkuhan antara sekolah selaku pengelola pendidikan di satu sisi dengan komite sekolah di sisi lain. Segala keputusan yang ditetapkan termasuk di dalamnya besarnya Iuran Dana Pendidikan (IDP) dan Iuran Pengembangan Pendidikan (IPP) dianggap solid dan sah, dikarenakan telah mendapat legalitas dari komite sekolah sebagai representasi orang tua siswa dan warga masyarakat, meskipun dalam kenyataannya keputusan tersebut sangat-sangat membebani dan memberatkan orang tua siswa. Kenapa hal ini bisa terjadi, dikarenakan kebanyakan pengurus komite sekolah didominasi oleh orang-orang yang sama sekali tidak berstatus sebagai orang tua/wali siswa sehingga kurang aspiratif dan representatif.
Kembali pada manajemen mutu, paling tidak setiap program mutu selalu mencakup empat komponen penting yaitu. Pertama, mesti ada komitmen untuk berubah dan semua warga sekolah mesti memperlihatkan komitmennya terhadap perubahan. Kedua, memahami dengan baik dimana wilayah sekolah itu berada. Ketiga, memiliki visi masa depan yang jelas dan semua warga sekolah mesti berpegang pada visi itu. Keempat, memiliki rencana untuk mengimplementasikan mutu di sekolah.
Keempat komponen di atas merupakan tolok ukur dan sekaligus indikator untuk menilai apakah sekolah itu berkualitas atau tidak. Meskipun tidak dipungkiri bahwa mutu pendidikan akan meningkat bila ada administrator, guru, staf dan komite sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim, kooperatif, akuntabilitas dan pengakuan. Disilah diperlukan sekolah yang benar-benar kondusif.
Bagi Kepala Sekolah, perlu memahami bahwa salah satu komponen penting program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan sistem pengukuran yang memungkinkan para professional pendidikan mendokumentasikan dan menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya. Adalah merupakan tantangan, dikarenakan biasanya penyakit para praktis pendidikan/guru adalah lemahnya sistem evaluasi dan dokumentasi. Disinilah perlunya pendidikan berbasis teknologi informasi.
Pertanyaannya adalah mengapa diperlukan Manajeman Sekolah berbasis Mutu? karena dapat membantu sekolah menyesuaikan diri dengan perubahan secara positif dan konstruktif.

Sekolah Bermutu Terpadu
Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu hendaknya diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh komite sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Visi mutu difokuskan pada: pertama, pemenuhan kebutuhan kostumer, artinya setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah kostumer. Kedua, keterlibatan total, artinya bahwa setiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu dan manajemen mesti memiliki komitmen untuk memfokuskan pada mutu. Tanpa adanya komitmen, program mutu tidak akan berhasil. Sekali lagi transformasi mutu mesti diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan.
Ketiga, pengukuran, dengan mengumpulkan dan menganalisis data untuk menunjukkan nulai tambah pendidikan. Inilah justru yang sering gagal dilakukan sekolah, karena secara tradisional ukuran mutu selalu diidentikkan dengan nilai hasil ujian siswa. Oleh karenanya proses belajar mengajar berorientasi pada nilai dan prosentase kelulusan saja. Paradigma guru mengajar dalam mengajar bertolak pada : bagaimana agar siswa dapat mengerjakan soal ujian dengan cepat dan benar tidak pada: bagaimana agar siswa memiliki proses berfikir dengan runtut. Paradigma ini sangan membahayakan karena pembelajaran akan tereduksikan dengan metode drill tanpa penguasaan konsep dasar atau teorima-teorima.
Keempat, memandang pendidikan sebagai system, artinya bahwa pengelolaan pendidikan di sekolah merupakan satu kesatuan yang saling berkelindan. Umumnya orang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan pemahaman penuh atas cara system tersebut bekerja. Akibatnya pengelolaan pendidikan bagaikan bola liar tak terpadu dan tak terfokus. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai sebuah system dapat mengeliminasi pemborosan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
Sedang yang kelima, perbaikan berkelanjutan, artinya bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Ungkapan kalau belum rusak, jangan diperbaiki, adalah paradigma lama yang sudah tidak relevan lagi dalam manajemen mutu. Menurut filosofi manajeman yang baru, bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila anda tidak melakukannya, orang lain pasti melakukannya. Inilah yang dimaksud konsep perbaikan berkelanjutan.

Penutup
Mulai tahun pelajaran 2008/2009 sebagian besar SMA Negeri Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Tengah beralih statusnya menjadi Sekolah Kriteria Mandiri (SKM). Dalam rentang waktu tiga tahun, akan dievaluasi pelaksanaannya apabila berhasil sekolah tersebut akan dinaikkan statusnya menjadi Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Ini berarti empat atau lima tahun ke depan secara sporadis akan bermunculan Sekolah Berstatus SBI.
Untuk keberhasilan program tersebut kiranya perlu adanya institusi semacam Komite Sekolah yang berfungsi sebagai Penjamin Mutu Sekolah / Quality Assurance. Pengurusnya dapat merekrut warga masyarakat yang peduli pendidikan. Institusi ini sebagai kontrol dalam rangka implementasi Manajemen Sekolah Berbasis Mutu.
Fenomena ini cukup melegakan hati, karena apabila benar-benar terwujud, kabut hitan kelam yang menyelimuti dunia pendidikan di negara kita Indonesia tercinta ini akan sirna dan sinar terang akan menampakan cahaya keberhasilan dunia pendidikan kita. Sehingga opini pendidikan Indonesia terpuruk di mata bangsa-bangsa lain akan terjawab. Semoga…!

Magelang, awal 2010






[1] Drs. Akhmad Syafii Harun, M.A. pemerhati masalah Pendidikan, tinggal di Magelang.

0 Response to "BENAHI PENDIDIKAN DENGAN MUTU"

Posting Komentar