KEMBALIKAN TRI PUSAT SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN

Oleh : Mad_fei[1]

Berbicara tentang pendidikan, kebanyakan orang mengidentikkan dengan sekolah. Karenanya sekolah dipandang sebagai satu-satunya tempat untuk mendidik dan mengajar anak yang sekaligus dapat menjadikan hitam putihnya anak didik. Pandangan keliru tersebut, berdampak cukup berat bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Sekolah, di samping terbebani hal-hal yang berhubungan dengan mutu lulusannya, juga menjadi tudingan pertama terhadap meningkatnya kenakalan remaja yang nota bene masih menyandang status sebagai pelajar. Sekolah sering dituduh tidak becus mendidik siswanya dan sekolah dikatakan gagal dalam mengemban misinya. Benarkah demikian keadaannya ? Bukankah siswa itu tidak hanya hidup di lingkungan sekolah saja ?
Dalam proses pendidikan di sekolah, banyak masalah yang dialami siswa, baik menyangkut persoalan-persoalan yang terjadi di keluarganya, masyarakatnya, ataupun di sekolahnya. Faktor utama yang menyebabkan kenakalan siswa adalah kehidupan sosial di luar sekolah, seperti broken home, kurangnya perhatian dari orang tua dan masalah keuangan. Masih didukung adanya pengaruh teve, iklim kekerasan yang berlangsung di masyarakat dan kelompok-kelompok sebaya yang bertindak menyimpang. Semua itu dapat memperlonggar siswa untuk berbuat menyimpang terhadap norma yang berlaku.
Di samping itu, sekolahpun dapat andil memperparah masalah yang dihadapi siswa. Misalnya terselenggaranya pengajaran yang kurang layak, suasana kelas tidak nyaman, keras, kering mandul dan kurang relevan. Suasana sekolah yang diliputi merajalelanya ketidak acuhan, sikap tunduk dan patuh di satu pihak dan persaingan tidak sehat di pihak lain, semua itu akan mempengaruhi pengembangan sikap dan mental anak.
Memperhatikan hal-hal tersebut, hendaknya kita sadar bahwa pendidikan bertujuan membentuk manusia berkualitas dan utuh. Yaitu manusia yang dapat mengembangkan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keagamaan. Dimensi individual diarahkan agar seseorang menjadi individu dengan aku yang teguh, positif, produktif dan dinamis. Untuk perkembangan dimensi ini perlu ditunjang dan diimbangi dimensi sosial yang memungkinkan seseorang berinteraksi, berkomunikasi, bergaul dan hidup bersama dengan orang lain. Perkembangan dimensi sosial menuntut pemunculan dimensi susila, dimensi ini perlu dikembangkan apabila seseorang berada bersama orang lain.
Pada umumnya hasil pendidikan kita baru sampai dan berhenti pada pengembangan tiga dimensi ini saja dan tidak disadari bahwa hal itu baru meliputi kehidupan duniawi yang mudah kabur oleh glamournya kemewahan dunia dan mudah terpikat pada bujuk rayu walaupun akan mendatangkan kesesatan. Di sinilah perlunya dikembangkan dimensi keagamaan untuk mengembangkan diri dalam kaitannya dengan Tuhan agar manusia tidak hanya terpaku pada kehidupan dunia semata, melainkan mengaitkan secara serasi, selaras dan seimbang antara kehidupan dunia dan akherat.
Kiranya perlu kita cermati apa yang dikatakan oleh John Dewey, bahwa pendidikan adalah sebagai salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (as direction), sebagai sarana pertumbuhan (as growth), yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup, lewat transmisi baik dalam bentuk informal, formal maupun nonformal. Bahkan Lodge menyatakan bahwa pendidikan dan proses hidup dan kehidupan manusia itu berjalan serempak, tidak terpisah satu sama yang lain (life is education, and education is life).
Inilah tantangan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, karena sejelek-jelek tampang sekolah, tetap merupakan sarana pendidikan yang efektif. Kalau kita mau jujur, pelaksanaan pendidikan di sekolah saat ini kurang menampakkan keterpaduan antar pelajaran dan hanya menyentuh aspek kognitif saja. Sehingga pengetahuan siswa menjadi terpolarisasi. Akibatnya anak akan jenuh dan bosan dalam menerima pelajaran dan akhirnya anak mencari konpensasi hal-hal yang negatif.
Namun perlu disadari bahwa pendidikan bukanlah semata-mata tanggung jawab sekolah, akan tetapi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (tri pusat pendidikan). Sebaik apapun pelaksanaan pendidikan di sekolah, tanpa didukung faktor lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, tujuan pendidikan akan sulit terwujud. Karena dalam kesehariannya siswa lebih banyak berada di luar sekolah dan di lingkungan dimana siswa berada itulah, siswa mengalami proses pembelajaran. Agar keempat dimensi tersebut dapat berkembang secara seimbang dan tidak timpang, hanya ada satu kata kunci yaitu kembalikan tripusat sebagai basis pendidikan, dalam arti sekolah, keluarga dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan.[]


Salaman, jelang 2010

[1] Akhmad Syafii Harun, praktisi pendidikan

0 Response to "KEMBALIKAN TRI PUSAT SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN"

Posting Komentar